Wednesday, 28 December 2016

Cara Pembagian Harta Warisan


Syari’at  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalah yang dikemukakan penulis sebagai berikut :
1.     Apa yang dimaksud dengan pengertian Ilmu Faraidh?
2.     Bagaimana ketentuan perolehan harta waris?
3.     Apa yang dimaksud dengan Hijab?
4.     Apa yang dimaksud dengan ‘Aul?
5.     Apa yang dimaksud dengan Rad?
6.     Bagaimana contoh cara pembagiannya?

Adapun tujuan penulis dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.     Untuk mengetahui pengertian Ilmu Faraidh.
2.     Untuk mengetahui ketentuan perolehan harta waris.
3.     Untuk mengetahui pengertian Hijab.
4.     Untuk mengetahui pengertian ‘Aul.
5.     Untuk mengetahui pengertian Rad.
6.     Untuk mengetahui contoh cara pembagiannya.

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu dengan Telaah Kepustakaan (Library Research) dan penelusuran artikel Islam di internet sebagai referensi yang ada kaitannya atau hubungannya dengan pembuatan makalah ini dan kami simpulkan dalam bentuk makalah.

Ilmu Faraidh ialah ilmu yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
Tujuan ilmu faraaid adalah agar pembagian warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli waris yang dirugikan sehingga tidak ada perselisihan atau perpecahan antar ahli waris karena pembagian harta warisan.




Pembagian harta waris dibagi menjadi tiga bagian, yakni: Dzawil Furudh, Ashobah dan Dzawil Arham
1.       Dzawil Furudh, yakni ahli waris yang ketentuan perolehannya sudah ditentukan oleh syara’  yakni : 1/2,1/4, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3. Disebut juga Furudhul Muqaddarah.
a.     Ahli waris yang memperoleh bagian setengah (1/2) :
1.     Anak perempuan tunggal.
2.     Cucu perempuan tunggal (dari anak laki-laki)
3.     Saudara perempuan tunggal yang sekandung
4.     Saudara perempuan tunggal yang sebapak
5.     Suami, apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.[1]
b.     Ahli waris yang memperoleh bagian seperempat (1/4)

1.     Suami, apabila pewaris meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki maupun  perempuan.
2.     Istri, seorang atau lebih apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.[2]
c.     Ahli waris yang memperoleh bagian seperdelapan (1/8)
1.     Istri, seorang atau lebih apabila pewaris meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.[3]
d.     Ahli waris yang memperoleh bagian sepertiga (1/3)
1.     Ibu, apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu ( dari anak laki-laki) baik laki-laki maupun perempuan, atau dua orang saudaranya/lebih laki-laki maupun perempuan sekandung/sebapak/seibu saja.
2.     dua orang saudara seibu /lebih laki-laki maupun perempuan.[4]
e.     Ahli waris yang memperoleh bagian seperenam (1/6)
1.     Bapak, apabila ada anak/cucu.
2.     kakek, apabila ada anak/cucu tanpa ada bapak.
3.     Ibu, apabila ada anak/cucu atau ada dua orang saudara lk./prp. atau lebih
4.     Nenek, seorang atau lebih, bila tidak ada ibu.
5.     Seorang saudara seibu,  baik laki-laki maupun perempuan
6.     Cucu perempuan seorang atau lebih, apabila ada seorang anak perempuan, tetapi bila anak perempuannya lebih dari seorang maka cucu hijab( tidak mendapat warisan).
7.     Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih apabila ada seorang saudara perempuan sekandung, tetapi apabial saudara sekandungnya lebih dari seorang maka saudara perempuyan sebapak hijab (tidak mendapat warisan).[5]
f.      Ahli waris yang memperoleh bagian duapertiga (2/3)
1.     Dua orang anak perempua atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
2.     Dua orang cucu perempua atau lebih dari anak laki-laki, bila tidak ada anak perempuan.
3.     Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung
4.     Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak.[6]
2.    Ashobah : yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisannya tidak ditentukan,  yaitu setelah diambil oleh ahli waris yang termasuk dzawil furudh. Ashobah terbagi menjadi tiga bagian yaitu Ashobah binafsihi, ashobah bighoirihi dan ashobah ma’a ghoirihi.[7]
a.     Ashobah binafsihi ; yaitu ahli waris yang menjadi ashobah  dengan sendirinya (secara otomatis), mereka adalah :
1.     Anak laki-laki
2.     Cucu laki-laki dari anak laiki-laki dst. kebawah selama pertaliannya masih laki-laki.
3.     Bapak.
4.     Kakek dari bapak dst.ke atas.
5.     Saudara laki-laki sekandung
6.     Saudara laki-laki sebapak
7.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ponakan)
8.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ponakan)
9.     saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang seibu sebapak dengan bapak
10.  saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang sebapak dengan bapak
11.  anak laki dari saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang seibu sebapak dengan bapak
12.  anak laki dari saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang sebapak dengan bapak
13.  wala’ (laki-laki yang memerdekakan pewaris dari perbudakannya).[8]
b.     Ashobah bighoiri, ahli waris yang menjadi ashobah dengan sebab ditarik oleh ahli waris tertentu dari ashobah binafsishi, mereka adalah ;
1.     Anak perempuan, dengan sebab adanya anak laki-laki
2.     Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan sebab adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki.
3.     Saudara perempuan seibu sebapak dengan sebab adanya saudara laki-laki yang seibu sebapak
4.     Saudara perempuan sebapak dengan sebab adanya saudara laki-laki yang sebapak[9]
c.     Ashobah ma’a ghoirihi ; yaitu ahli waris yang menjadi ashobah karena bersama-sama ahli waris lain yang tertentu dari dzawil furudh, mereka adalah:
1.     Saudara perempuan sekandung apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
2.     Saudara perempuan sebapak apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.[10]

3.       Pengertian Dzawil Arham
Dzawil Arham terdiri dari duat kata yaitu dzawil dan arham, Dzawil secara bahasa ialah orang yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak.  Arham adalah jamak dari rahim, rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut istilah dzawil arham memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashabul furud dan ashobah.
Menurut Hanafi dan Syafi’i dzawil arham adalah para kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan si mati tetapi bukan kerabat dzawil furudh dan bukan kerabat ‘Asabah yaitu semua anggota keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga yang perempuan di garis bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya di dalam al-Qur`an anak perempuan, anak perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
Menurut Ulama Sunni kelompok dzawil arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris dzawil furudh dan ashabah. Antara lain:
1.       Cucu dari keturunan anak perempuan dan seterusnya ke bawah (laki-laki maupun perempuan).
2.       Anak dari cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (laki-laki maupun perempuan).
3.       Anak-anak dari saudara perempuan kandung, seayah, seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
4.       Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu, dan seterusnya ke bawah.
5.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya ke bawah.[11]

Hijab berarti tabir atau penghalang bagi ahli waris untuk mendapat harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat atau lebih berhak atau menghalangi  orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian.[12] Hijab ada dua :
1.     Hijab Nuqshon, adalah hijab yang dapat mengurangi bagian dari harta warisan bagi ahli waris tertentu karena bersama-sama dengan ahli waris lain tertentu pula. Misal istri mendapat bagian ¼  namun karena bersama anak atau cucu maka ia mendapat 1/8.[13]
2.     Hijab Hirman, adalah hijab yang menyebabkan ahli waris kehilangan haknya atas harta warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat atau lebih berhak, antara lain :
a.     cucu laki-laki tidak berhak memperoleh harta warisan karena ada anak laki-laki.
b.     kakek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada bapak.
c.     Nenek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada ibu
d.     Saudara sekandung tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada anak laki-laki dan bapak.
e.     Saudara laki-laki/perempuan sebapak tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada anak laki-laki , cucu laki , bapak, saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung jika berashobah dengan anak perempuan sekandung.[14]
Ada beberapa orang waris yang tidak bisa terhalang, sebagai berikut:
1.     Bapak
2.     Ibu
3.     Anak laki-laki
4.     Anak perempuan
5.     Suami
6.     Istri[15]
Dalam ilmu faraaid artinya; “menambah banyak bagian-bagian, disebabkan kurang pendapatan yang harus diterima oleh ahli waris sehingga jumlah bagian semuanya berlebih dari asal masalahnya, dengan kata lain jumlah KPK lebih kecil dari jumlah harta yang harus dibagikan. Misalnya, seseorang perempuan meninggal dunia mempunyai 2 anak perempuan, ibu dan suami.
Asal Masalah
12        13
2 Anak Perempuan
2/3
8
Ibu
1/6
2
Suami
1/4
3
            Ada beberapa yang bisa di ‘Aul-kan dan yang tidak bisa di ‘Aul-kan. Asal masalah yang tidak bisa di ‘Aul-kan ada empat yakni 2, 3, 4 dan 8. Sementara itu, asal masalah yang bisa di ‘Aul-kan ada tiga yakni 6, 12 dan 24.
1.     Asal masalahnya 6 bisa menjadi 7, 8, 9 dan 10
2.     Asal masalahnya 12 bisa menjadi13, 15 dan 17
3.     Asal masalahnya 24 bisa menjadi 27. [16]

Raad dalam ilmu faraidh artinya jumlah KPK lebih besar dari jumlah harta yang harus dibagikan. Dengan arti lain jumlah harta masih berlebih setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris.
Orang – orang yang bisa di rad-kan, mereka adalah:
1.     Anak perempuan
2.     Cucu perempuan dari anak laki-laki
3.     Saudara perempuan kandung
4.     Saudara perempuan sebapak
5.     Ibu
6.     Saudara perempuan dari ibu
7.     Saudara laki-laki dari ibu
8.     Nenek.[17]
Ada beberapa syarat akan terjadinya masalah rad, sebagai berikut:
1.     Adanya shahibul furudh.
2.     Tidak adanya ashabah.
3.     Sisa harta warisan yang berlebihan[18]
Ada beberapa contoh tentang masalah rad. Misalnya, seseorang laki-laki wafat dan memiliki ibu dan 2 saudara laki-laki dari ibu.
Asal Masalah
6         3  
Ibu
1/6
1
2 Saudara laki-laki dari ibu
1/3
2
Ada beberapa contoh bagaimana cara mendapatkan hasil warisan setiap orangnya.  Misalnya, seorang suami meninggal dunia, kemudian memiliki istri, bapak dan 1 anak laki-laki dan memiliki harta warisan Rp. 24.000.
Asal Masalah
24
Istri
1/8
3
Bapak
1/6
4
1 anak Laki-laki
Ashabah
17

Jadi, harta warisan setiap orangnya sebagai berikut:
Istri                  : 3/24 x Rp. 24.000  = Rp. 3.000
Bapak              : 4/24 x Rp. 24.000  = Rp. 4.000
Anak laki-laki : 17/24 x Rp. 24.000 = Rp. 17.000

·      Ilmu Faraidh ialah ilmu yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
·      Pembagian harta waris dibagi menjadi tiga bagian, yakni: Dzawil Furudh, Ashobah dan Dzawil Arham
1.     Dzawil Furudh, yakni ahli waris yang ketentuan perolehannya sudah ditentukan oleh syara’  yakni : 1/2,1/4, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3. Disebut juga Furudhul Muqaddarah.
2.     Ashobah : yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisannya tidak ditentukan,  yaitu setelah diambil oleh ahli waris yang termasuk dzawil furudh. Ashobah terbagi menjadi tiga bagian yaitu Ashobah binafsihi, ashobah bighoirihi dan ashobah ma’a ghoirihi.
3.     Dzawil Arham terdiri dari duat kata yaitu dzawil dan arham, Dzawil secara bahasa ialah orang yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak.  Arham adalah jamak dari rahim, rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut istilah dzawil arham memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashabul furud dan ashobah.
·       Hijab berarti tabir atau penghalang bagi ahli waris untuk mendapat harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat atau lebih berhak atau menghalangi  orang yang mempunyai sebab mendapatkan warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian.
·       ‘Aul (menambah /   عول). Dalam ilmu faraaid artinya; “menambah banyak bagian-bagian, disebabkan kurang pendapatan yang harus diterima oleh ahli waris sehingga jumlah bagian semuanya berlebih dari asal masalahnya, dengan kata lain jumlah KPK lebih kecil dari jumlah harta yang harus dibagikan.
·       Raad dalam ilmu faraidh artinya jumlah KPK lebih besar dari jumlah harta yang harus dibagikan.

·       Ada beberapa contoh bagaimana cara mendapatkan hasil warisan setiap orangnya.  Misalnya, seorang suami meninggal dunia, kemudian memiliki istri, bapak dan 1 anak laki-laki dan memiliki harta warisan Rp. 24.000.
Asal Masalah
24
Istri
1/8
3
Bapak
1/6
4
1 anak Laki-laki
Ashabah
17
Jadi, harta warisan setiap orangnya sebagai berikut:
Istri                  : 3/24 x Rp. 24.000  = Rp. 3.000
Bapak              : 4/24 x Rp. 24.000  = Rp. 4.000
Anak laki-laki : 17/24 x Rp. 24.000 = Rp. 17.000


A. Buku
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Makassar : Alauddin Universitas Press, 2013.
Abyan Amir, Fiqih, Jakarta: PT. Karya Toha Putra, 2003.
Addys Aldizar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.
No Name (Tanpa Nama), Ilmu faraidh, Ponorogo: Darussalam Press, 2001.

B. Internet
http://kingartikel.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-dzawil-arham-dan-pembagian.html.




[1] Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Makassar : Alauddin Universitas Press, 2013. Hal: 110.
[2] Ibid., Hal: 121.
[3] Ibid., Hal: 125.
[4] Ibid., Hal: 152
[5] Ibid., Hal: 166.
[6] Ibid., Hal: 129.
[7] Abyan Amir, Fiqih, Jakarta: PT. Karya Toha Putra,2003. Hal. 100.
[8] Ibid. Hal. 254.
[9] Ibid., Hal: 262.
[10] Ibid. Hal. 266.
[11] http://kingartikel.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-dzawil-arham-dan-pembagian.html
[12] Addys Aldizar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. Hal. 277.
[13] Ibid., Hal. 280.
[14] Ibid., Hal. 282.
[15] No Name (Tanpa Nama), Ilmu faraidh, Ponorogo: Darussalam Press, 2001, Hal. 40
[16] Ibid. Hal. 47.
[17] Addys Aldizar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. Hal. 330.
[18] No Name (Tanpa Nama), Ilmu faraidh, Ponorogo: Darussalam Press, 2001, Hal. 51. 

No comments:

Post a Comment

Artikel Populer

Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Dalam sejarah negara republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Masala...