Syari’at Islam
menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan
merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa
mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan
sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,
suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau
seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an
merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama
sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit
sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali
hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
Berdasarkan latar belakang diatas adapun
rumusan masalah yang
dikemukakan penulis sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan pengertian Ilmu
Faraidh?
2.
Bagaimana ketentuan perolehan harta waris?
3.
Apa yang dimaksud dengan Hijab?
4.
Apa yang dimaksud dengan ‘Aul?
5.
Apa yang dimaksud dengan Rad?
6.
Bagaimana contoh cara pembagiannya?
Adapun tujuan penulis dalam penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian Ilmu Faraidh.
2.
Untuk mengetahui ketentuan perolehan harta waris.
3.
Untuk mengetahui pengertian Hijab.
4.
Untuk mengetahui pengertian ‘Aul.
5.
Untuk mengetahui pengertian Rad.
6.
Untuk mengetahui contoh cara pembagiannya.
Adapun
metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu dengan Telaah
Kepustakaan (Library Research) dan
penelusuran artikel Islam di internet sebagai referensi yang ada kaitannya atau
hubungannya dengan pembuatan makalah ini dan kami simpulkan dalam bentuk
makalah.
Ilmu Faraidh
ialah ilmu yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada
ahli waris yang berhak menerimanya.
Hukum
mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
Tujuan ilmu
faraaid adalah agar pembagian warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli
waris yang dirugikan sehingga tidak ada perselisihan atau perpecahan antar ahli
waris karena pembagian harta warisan.
Pembagian harta waris dibagi
menjadi tiga bagian, yakni: Dzawil Furudh, Ashobah dan Dzawil Arham
1. Dzawil Furudh, yakni ahli waris yang ketentuan perolehannya
sudah ditentukan oleh syara’ yakni :
1/2,1/4, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3. Disebut juga Furudhul Muqaddarah.
a. Ahli waris yang memperoleh bagian setengah (1/2) :
1. Anak perempuan tunggal.
2. Cucu perempuan tunggal (dari anak laki-laki)
3. Saudara perempuan tunggal yang sekandung
4. Saudara perempuan tunggal yang sebapak
b. Ahli waris yang memperoleh bagian seperempat (1/4)
1. Suami, apabila pewaris meninggalkan anak atau cucu baik
laki-laki maupun perempuan.
2. Istri, seorang atau lebih apabila pewaris tidak meninggalkan
anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.[2]
c. Ahli waris yang memperoleh bagian seperdelapan (1/8)
1. Istri, seorang atau lebih apabila pewaris meninggalkan anak atau
cucu baik laki-laki maupun perempuan.[3]
d. Ahli waris yang memperoleh bagian sepertiga (1/3)
1. Ibu, apabila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu ( dari
anak laki-laki) baik laki-laki maupun perempuan, atau dua orang
saudaranya/lebih laki-laki maupun perempuan sekandung/sebapak/seibu saja.
e. Ahli waris yang memperoleh bagian seperenam (1/6)
1.
Bapak, apabila ada anak/cucu.
2.
kakek, apabila ada anak/cucu tanpa ada bapak.
3.
Ibu, apabila ada anak/cucu atau ada dua orang saudara
lk./prp. atau lebih
4.
Nenek, seorang atau lebih, bila tidak ada ibu.
5.
Seorang saudara seibu,
baik laki-laki maupun perempuan
6.
Cucu perempuan seorang atau lebih, apabila ada seorang
anak perempuan, tetapi bila anak perempuannya lebih dari seorang maka cucu
hijab( tidak mendapat warisan).
7. Seorang saudara
perempuan sebapak atau lebih apabila ada seorang saudara perempuan
sekandung, tetapi apabial saudara sekandungnya lebih dari seorang maka saudara
perempuyan sebapak hijab (tidak mendapat warisan).[5]
f. Ahli waris yang memperoleh bagian duapertiga (2/3)
1. Dua orang anak perempua atau lebih, jika tidak ada anak
laki-laki.
2. Dua orang cucu perempua atau lebih dari anak laki-laki, bila
tidak ada anak perempuan.
3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung
2. Ashobah
: yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisannya tidak ditentukan, yaitu setelah diambil oleh ahli waris yang
termasuk dzawil furudh. Ashobah terbagi menjadi tiga bagian yaitu Ashobah
binafsihi, ashobah bighoirihi dan ashobah ma’a ghoirihi.[7]
a. Ashobah binafsihi ; yaitu ahli waris yang menjadi ashobah dengan sendirinya (secara otomatis), mereka
adalah :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laiki-laki dst. kebawah selama
pertaliannya masih laki-laki.
3. Bapak.
4. Kakek dari bapak dst.ke atas.
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ponakan)
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ponakan)
9. saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang seibu sebapak dengan
bapak
10. saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang sebapak dengan bapak
11. anak laki dari saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang seibu sebapak
dengan bapak
12. anak laki dari saudara laki-laki bapak (paman/wa’) yang sebapak
dengan bapak
b. Ashobah bighoiri, ahli waris yang menjadi ashobah dengan sebab
ditarik oleh ahli waris tertentu dari ashobah binafsishi, mereka adalah ;
1. Anak perempuan, dengan sebab adanya anak laki-laki
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan sebab adanya cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
3. Saudara perempuan seibu sebapak dengan sebab adanya saudara
laki-laki yang seibu sebapak
c. Ashobah ma’a ghoirihi ; yaitu ahli waris yang menjadi ashobah
karena bersama-sama ahli waris lain yang tertentu dari dzawil furudh, mereka
adalah:
1. Saudara perempuan sekandung apabila bersama-sama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
2. Saudara perempuan sebapak apabila bersama-sama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.[10]
3. Pengertian Dzawil Arham
Dzawil Arham terdiri dari duat
kata yaitu dzawil dan arham, Dzawil secara bahasa ialah orang yang mempunyai
hubungan kerabat secara mutlak. Arham
adalah jamak dari rahim, rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut
istilah dzawil arham memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk
golongan ashabul furud dan ashobah.
Menurut Hanafi dan Syafi’i dzawil
arham adalah para kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan si mati tetapi
bukan kerabat dzawil furudh dan bukan kerabat ‘Asabah yaitu semua anggota keluarga
di garis ibu, lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga yang perempuan
di garis bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya di dalam
al-Qur`an anak perempuan, anak perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan
kandung, dan saudara perempuan sebapak.
Menurut Ulama Sunni kelompok
dzawil arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan
pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris dzawil
furudh dan ashabah. Antara lain:
1. Cucu dari keturunan anak perempuan dan seterusnya ke bawah
(laki-laki maupun perempuan).
2. Anak dari cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah (laki-laki maupun perempuan).
3. Anak-anak dari saudara perempuan kandung, seayah, seibu, baik
laki-laki maupun perempuan.
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu,
dan seterusnya ke bawah.
Hijab berarti tabir atau
penghalang bagi ahli waris untuk mendapat harta warisan karena ada ahli waris
yang lebih dekat atau lebih berhak atau menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan
warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian.[12] Hijab ada dua :
1. Hijab Nuqshon, adalah hijab yang dapat mengurangi bagian dari
harta warisan bagi ahli waris tertentu karena bersama-sama dengan ahli waris
lain tertentu pula. Misal istri mendapat bagian ¼ namun karena bersama anak atau cucu maka ia
mendapat 1/8.[13]
2. Hijab Hirman, adalah hijab yang menyebabkan ahli waris
kehilangan haknya atas harta warisan karena terhalang oleh ahli waris yang
lebih dekat atau lebih berhak, antara lain :
a. cucu laki-laki tidak berhak memperoleh harta warisan karena ada
anak laki-laki.
b. kakek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada bapak.
c. Nenek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada ibu
d. Saudara sekandung tidak berhak memperoleh harta warisan selama
ada anak laki-laki dan bapak.
e. Saudara laki-laki/perempuan sebapak tidak berhak memperoleh
harta warisan selama ada anak laki-laki , cucu laki , bapak, saudara laki-laki
sekandung dan saudara perempuan sekandung jika berashobah dengan anak perempuan
sekandung.[14]
Ada beberapa orang waris yang
tidak bisa terhalang, sebagai berikut:
1. Bapak
2. Ibu
3. Anak laki-laki
4. Anak perempuan
5. Suami
Dalam ilmu faraaid artinya;
“menambah banyak bagian-bagian, disebabkan kurang pendapatan yang harus
diterima oleh ahli waris sehingga jumlah bagian semuanya berlebih dari asal
masalahnya, dengan kata lain jumlah KPK lebih kecil dari jumlah harta yang
harus dibagikan. Misalnya, seseorang perempuan meninggal dunia mempunyai 2 anak
perempuan, ibu dan suami.
Asal
Masalah
|
|
|
2 Anak
Perempuan
|
2/3
|
8
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
Suami
|
1/4
|
3
|
Ada
beberapa yang bisa di ‘Aul-kan dan yang tidak bisa di ‘Aul-kan. Asal masalah
yang tidak bisa di ‘Aul-kan ada empat yakni 2, 3, 4 dan 8. Sementara itu, asal
masalah yang bisa di ‘Aul-kan ada tiga yakni 6, 12 dan 24.
1. Asal masalahnya 6 bisa menjadi 7, 8, 9 dan 10
2. Asal masalahnya 12 bisa menjadi13, 15 dan 17
Raad dalam ilmu faraidh artinya
jumlah KPK lebih besar dari jumlah harta yang harus dibagikan. Dengan arti lain
jumlah harta masih berlebih setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris.
Orang – orang yang bisa di
rad-kan, mereka adalah:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Saudara perempuan kandung
4. Saudara perempuan sebapak
5. Ibu
6. Saudara perempuan dari ibu
7. Saudara laki-laki dari ibu
Ada beberapa syarat akan
terjadinya masalah rad, sebagai berikut:
1. Adanya shahibul furudh.
2. Tidak adanya ashabah.
Ada beberapa contoh tentang
masalah rad. Misalnya, seseorang laki-laki wafat dan memiliki ibu dan 2 saudara
laki-laki dari ibu.
Asal
Masalah
|
|
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2
Saudara laki-laki dari ibu
|
1/3
|
2
|
Ada beberapa contoh bagaimana
cara mendapatkan hasil warisan setiap orangnya. Misalnya, seorang suami meninggal dunia,
kemudian memiliki istri, bapak dan 1 anak laki-laki dan memiliki harta warisan
Rp. 24.000.
Asal
Masalah
|
24
|
|
Istri
|
1/8
|
3
|
Bapak
|
1/6
|
4
|
1 anak Laki-laki
|
Ashabah
|
17
|
Jadi, harta warisan setiap orangnya sebagai berikut:
Istri :
3/24 x Rp. 24.000 = Rp. 3.000
Bapak : 4/24
x Rp. 24.000 = Rp. 4.000
Anak laki-laki : 17/24
x Rp. 24.000 = Rp. 17.000
·
Ilmu Faraidh ialah ilmu
yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris
yang berhak menerimanya.
·
Pembagian harta waris
dibagi menjadi tiga bagian, yakni: Dzawil Furudh, Ashobah dan Dzawil Arham
1. Dzawil Furudh, yakni ahli waris yang ketentuan perolehannya sudah
ditentukan oleh syara’ yakni : 1/2,1/4,
1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3. Disebut juga Furudhul Muqaddarah.
2. Ashobah : yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisannya tidak
ditentukan, yaitu setelah diambil oleh
ahli waris yang termasuk dzawil furudh. Ashobah terbagi menjadi tiga bagian
yaitu Ashobah binafsihi, ashobah bighoirihi dan ashobah ma’a ghoirihi.
3. Dzawil Arham terdiri dari duat kata yaitu dzawil dan arham,
Dzawil secara bahasa ialah orang yang mempunyai hubungan kerabat secara
mutlak. Arham adalah jamak dari rahim,
rahim bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut istilah dzawil arham
memiliki pengertian golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashabul furud
dan ashobah.
·
Hijab berarti tabir atau
penghalang bagi ahli waris untuk mendapat harta warisan karena ada ahli waris
yang lebih dekat atau lebih berhak atau menghalangi orang yang mempunyai sebab mendapatkan
warisan, baik secara menyeluruh maupun sebagian.
· ‘Aul (menambah / عول).
Dalam ilmu faraaid artinya; “menambah banyak bagian-bagian, disebabkan
kurang pendapatan yang harus diterima oleh ahli waris sehingga jumlah bagian
semuanya berlebih dari asal masalahnya, dengan kata lain jumlah KPK lebih kecil
dari jumlah harta yang harus dibagikan.
·
Raad dalam ilmu faraidh
artinya jumlah KPK lebih besar dari jumlah harta yang harus dibagikan.
·
Ada beberapa contoh
bagaimana cara mendapatkan hasil warisan setiap orangnya. Misalnya, seorang suami meninggal dunia,
kemudian memiliki istri, bapak dan 1 anak laki-laki dan memiliki harta warisan
Rp. 24.000.
Asal
Masalah
|
24
|
|
Istri
|
1/8
|
3
|
Bapak
|
1/6
|
4
|
1 anak Laki-laki
|
Ashabah
|
17
|
Jadi, harta warisan setiap orangnya sebagai berikut:
Istri : 3/24 x
Rp. 24.000 = Rp. 3.000
Bapak : 4/24 x Rp.
24.000 = Rp. 4.000
Anak
laki-laki : 17/24 x
Rp. 24.000 = Rp. 17.000
A.
Buku
Abdillah Mustari, Hukum
Kewarisan Islam, Makassar : Alauddin Universitas Press, 2013.
Abyan Amir, Fiqih,
Jakarta: PT. Karya Toha Putra, 2003.
Addys Aldizar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004.
No Name (Tanpa
Nama), Ilmu faraidh, Ponorogo: Darussalam Press, 2001.
B. Internet
http://kingartikel.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-dzawil-arham-dan-pembagian.html.
[1] Abdillah Mustari, Hukum
Kewarisan Islam, Makassar : Alauddin Universitas Press, 2013. Hal: 110.
[2] Ibid., Hal: 121.
[3] Ibid., Hal: 125.
[4] Ibid., Hal: 152
[5] Ibid., Hal: 166.
[6] Ibid., Hal: 129.
[7] Abyan Amir, Fiqih, Jakarta:
PT. Karya Toha Putra,2003. Hal. 100.
[8] Ibid. Hal. 254.
[9] Ibid., Hal: 262.
[10] Ibid. Hal. 266.
[11] http://kingartikel.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-dzawil-arham-dan-pembagian.html
[12] Addys Aldizar, Hukum
Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. Hal. 277.
[13] Ibid., Hal. 280.
[14] Ibid., Hal. 282.
[15] No Name (Tanpa Nama), Ilmu
faraidh, Ponorogo: Darussalam Press, 2001, Hal. 40
[16] Ibid. Hal. 47.
[17] Addys Aldizar, Hukum
Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. Hal. 330.
No comments:
Post a Comment