Enam Sahabat
Namaku Rafa Muqaromah, cerita ini terjadi ketika dulu aku masih berada di
jenjang Sekolah Menengah Kejuruan. Aku memiliki lima orang sahabat yaitu Nadia, Nur, Dindin,
Pipit dan Bebeh yang terakhir ini sebenarnya mempunyai nama asli Linda. Tapi, kami
memberinya gelar seperti itu karena nama akun Facebooknya bernama Bebeh. Kami merupakan teman sekelas dari kelas X sampai dengan kelas XII.
Cerita ini berawal ketika terjadi krisis
keuangan dan kami terpaksa mencari akal agar dapat meringankan pengeluaran uang saku yang diberikan oleh orang tua kami. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas. Dalam sekejap warung Bule kantin Rangge berjejal-jejal penuh sesak. Terutama anak-anak kelas XII.
“He? Kurang seribu, nduk!”teriak Bule Rangge.
“Memang harganya berapa, Bule?” tanya Pipit
terkejut.
“Nasi goreng sepuluh ribu. Kerupuk seribu. Air mineral tiga ribu lima ratus dan kue dua ribu,” Bule Rangge pidato singkat tentang harga barunya kami pun
terperangah.
“Hutang, Bule?”teriak Pipit karena makanan sudah terlanjur masuk mulut.
Biasanya sepanjang waktu istirahat warung Bule penuh dengan anak-anak yang membeli makanan. Kali ini, karena harga makanan sedang naik hanya beberapa detik warung itu kembali sepi. Harga makanan tak sesuai lagi dengan kantong mereka.
“Aku harus minta kenaikan uang kiriman,” kata Pipit
kepada kami.
“Kasihan orang tuamu, Pit,”timpal Bebeh.
“Kita harus cari akal!” sahut Nadia.
“Mencuri?”Ketus Nur.
“Ah, itu bukan akal, tapi kehilangan akal namanya!” bantah Dindin. Seketika kami pun tertawa bersama. Pembicaraan seru itu pun terhenti ketika bel tanda masuk berbunyi.
“Nad, aku punya ide,” bisikku kepada Nadia sebelum Ibu Dewi memulai
pelajarannya.
“Kita bicarakan saat istirahat kedua nanti, ya,” tambahku
dan Nadia mengangguk tanda ia setuju.
Pada saat bel istirahat kedua berbunyi Nadia bergegas
menghampiriku. “Ide apa yang kamu bicarakan tadi?” tanya Nadia dengan raut
penasaran.
“Ajak teman-teman kita yang mau ikut bekerja,” pintaku. “Kerja
apa dulu, Fa?” desak Nadia. Aku menjelaskan singkat tentang ideku, Nadia segera
paham. Selama waktu istirahat itu Nadia menghubungi teman-teman yang
diperkirakan mau membantu.
Pukul 13.00 anak-anak keluar dari sekolah. Nadia yang
bertugas mencatat daftar teman-teman yang mau diajak bekerja. Sayangnya, banyak
yang tidak berminat. Alhasil, yang ingin membantu hanya teman-teman terdekat
saja. Bebeh, Pipit, Dinda, Nur dan tidak ketinggalan kami berdua yang memang
sudah mengetahui rencananya dari awal berkumpul di dalam kelas yang sudah sepi
karena anak-anak yang lain sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
“Yang penting kita tidak malu. Kita tawarkan kue-kue
buatan kita di lingkungan sekolah kita ini,” aku menjelaskan sambil
memperlihatkan daftar bahan-bahan kue dan harganya.
“Pertama, kita bisa membuat kue yang mudah dibuat dan
enak. Lalu, kita jual di sekitar sekolah kita. Sudah lama aku punya ide seperti
ini dan saat inilah yang paling tepat,” ujarku lagi. Teman-teman mendengarkan
dengan serius.
“Kapan kita bisa mulai membuat kuenya?” tanya Bebeh tak
sabar lagi.
“Kita buat kuenya hari jum’at dan menjualnya pada hari
sabtu. Karena biasanya kalau hari-hari yang seperti itu jualan kita akan laku dengan cepat. Selain itu, pada hari tersebut
merupakan waktu yang tepat untuk menawarkannya ke kelas-kelas yang lain,” tutur
Pipit.
“Tumben, otak kamu
lancar, Pit,” kata Dindin tiba-tiba sambil tertawa lepas.
“Aku memberi saran. Daripada kamu bisanya
mengangguk-ngangguk kayak ayam dari tadi ,” bantah Pipit.
“Iya ampun-ampun, Pit,” Dindin terkekeh.
“Benar kata
Pipit,” kata Nadia sambil ikut tertawa kecil.
“Ya sudah, kita
menjualnya hari sabtu untuk saat ini kita cari bahan-bahannya dulu. Kita
kumpulkan uang untuk membeli bahannya,” tutur Bebeh. Sambil mengeluarkan pulpen
dan catatan untuk mencatat apa saja yang diperlukan.
Sabtu pagi, Pipit tiba di sekolah sambil membawa kue-kue
yang disimpan di rumahnya setelah kami membuatnya bersama pada hari jum’at
sebelumnya.
“Kalian jualan kue?” tanya Ayu teman satu kelas kami.
“Sepertinya enak,” tambah Wulan.
“Boleh dibeli sekarang tidak?” tanya Tiya tak sabar.
“Tapi waktunya sudah
hampir masuk pelajaran pertama. Nanti saja pada waktu istirahat, bagaimana?”
pintaku.
“Yah, kalau begitu aku
pesan bolu mininya sama pudingnya masing-masing satu ya. Awas kalo tidak,”
ancam Tiya sambil terkekeh.
“Iya, santai saja pasti disimpankan kuenya,” sahut Bebeh.
Tepat pada saat itu bel masuk pelajaran pertama pun
berbunyi. Sementara itu, kue jualan kami letakkan di meja paling belakang yang
memang kosong. Tak terasa bunyi bel tanda istirahat pertama pun berbunyi.
Teman-teman di kelas bergegas menghampiri kami untuk membeli kue jualan kami
yang pertama.
Minggu depan pada saat bel pertama berbunyi. Karena
minggu sebelumnya kue kami terjual habis di kelas sebelum sempat menjualnya
keliling sekolah kami pun langsung membagi kelompok. Bebeh, Pipit dan Nur
menjual kue sambil keliling lingkungan sekolah. Sedangkan sisanya, tetap di
kelas untuk menjualnya pada teman-teman di kelas.
Sepulang sekolah, seperti biasa kami berkumpul di dalam
kelas sambil bercerita. Sementara itu, kelas sudah sepi karena teman-teman yang
lain sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami bercerita tentang kejadian pada
saat Bebeh, Pipit dan Nur berjualan keliling sekolah.
“Sulit, Fa,” lapor Nur.
“Ada yang tidak menghiraukan tapi tidak sedikit juga yang
ingin mencobanya,” kata Bebeh antara senang dan lelah.
“Sampai guru mengira aku jualan kue untuk modal kawin
pula!” gumam Pipit.
Kami pun tertawa mendengarnya. Hal biasa jika ada
kesulitan dalam berusaha. Anak-anak seperti kami merasakan sulitnya mencari
uang. Setiap hari sabtu kami menjual kue dengan semangat. Anak-anak sekolah dan
guru-guru sangat menyukainya, apalagi harga kue yang kami jual tidak terlalu
mahal dan rasanya pun tidak mengecewakan.
Pekerjaan kami semakin maju. Karena harga yang semakin
melangit, krisis uang saku terjadi. Kami jadi merasakan bagaimana sulitnya
mencari uang sendiri. Tentu saja, hasil tidak pernah mendustai usaha pekerjaan
kami menghasilkan uang yang lumayan meskipun kami hanya bisa melakukannya dalam
waktu yang singkat karena harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian
Nasional.
No comments:
Post a Comment