Thursday, 5 January 2017

Cerpen Enam Sahabat


Enam Sahabat
            Namaku Rafa Muqaromah, cerita ini terjadi ketika dulu aku masih berada di jenjang Sekolah Menengah Kejuruan. Aku memiliki lima orang sahabat yaitu Nadia, Nur, Dindin, Pipit dan Bebeh yang terakhir ini sebenarnya mempunyai nama asli Linda. Tapi, kami memberinya gelar seperti itu karena nama akun Facebooknya bernama Bebeh. Kami merupakan teman sekelas dari kelas X sampai dengan kelas XII.
Cerita ini berawal ketika terjadi krisis keuangan dan kami terpaksa mencari akal agar  dapat meringankan pengeluaran uang saku yang diberikan oleh orang tua kami. Bel istirahat berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas. Dalam sekejap warung Bule kantin Rangge berjejal-jejal penuh sesak. Terutama anak-anak kelas XII.
            “He? Kurang seribu, nduk!”teriak Bule Rangge.
            “Memang harganya berapa, Bule?” tanya Pipit terkejut.
“Nasi goreng sepuluh ribu. Kerupuk seribu. Air mineral tiga ribu lima ratus dan kue dua ribu,” Bule Rangge pidato singkat tentang harga barunya kami pun terperangah.
“Hutang, Bule?”teriak Pipit karena makanan sudah terlanjur masuk mulut.
Biasanya sepanjang waktu istirahat warung Bule penuh dengan anak-anak yang membeli makanan. Kali ini, karena harga makanan sedang naik hanya beberapa detik warung itu kembali sepi. Harga makanan tak sesuai lagi dengan kantong mereka.
            “Aku harus minta kenaikan uang kiriman,” kata Pipit kepada kami.
            “Kasihan orang tuamu, Pit,”timpal Bebeh.
            “Kita harus cari akal!” sahut Nadia.
            “Mencuri?”Ketus Nur.
“Ah, itu bukan akal, tapi kehilangan akal namanya!” bantah Dindin. Seketika kami pun tertawa bersama. Pembicaraan seru itu pun terhenti ketika bel tanda masuk berbunyi.
“Nad, aku punya ide,” bisikku kepada Nadia sebelum Ibu Dewi memulai pelajarannya.
“Kita bicarakan saat istirahat kedua nanti, ya,” tambahku dan Nadia mengangguk tanda ia setuju.
Pada saat bel istirahat kedua berbunyi Nadia bergegas menghampiriku. “Ide apa yang kamu bicarakan tadi?” tanya Nadia dengan raut penasaran.
“Ajak teman-teman kita yang mau ikut bekerja,” pintaku. “Kerja apa dulu, Fa?” desak Nadia. Aku menjelaskan singkat tentang ideku, Nadia segera paham. Selama waktu istirahat itu Nadia menghubungi teman-teman yang diperkirakan mau membantu.
Pukul 13.00 anak-anak keluar dari sekolah. Nadia yang bertugas mencatat daftar teman-teman yang mau diajak bekerja. Sayangnya, banyak yang tidak berminat. Alhasil, yang ingin membantu hanya teman-teman terdekat saja. Bebeh, Pipit, Dinda, Nur dan tidak ketinggalan kami berdua yang memang sudah mengetahui rencananya dari awal berkumpul di dalam kelas yang sudah sepi karena anak-anak yang lain sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
“Yang penting kita tidak malu. Kita tawarkan kue-kue buatan kita di lingkungan sekolah kita ini,” aku menjelaskan sambil memperlihatkan daftar bahan-bahan kue dan harganya.
“Pertama, kita bisa membuat kue yang mudah dibuat dan enak. Lalu, kita jual di sekitar sekolah kita. Sudah lama aku punya ide seperti ini dan saat inilah yang paling tepat,” ujarku lagi. Teman-teman mendengarkan dengan serius.
“Kapan kita bisa mulai membuat kuenya?” tanya Bebeh tak sabar lagi.
“Kita buat kuenya hari jum’at dan menjualnya pada hari sabtu. Karena  biasanya kalau hari-hari yang seperti itu jualan kita akan laku dengan cepat. Selain itu, pada hari tersebut merupakan waktu yang tepat untuk menawarkannya ke kelas-kelas yang lain,” tutur Pipit.
 “Tumben, otak kamu lancar, Pit,” kata Dindin tiba-tiba sambil tertawa lepas.
“Aku memberi saran. Daripada kamu bisanya mengangguk-ngangguk kayak ayam dari tadi ,” bantah Pipit.
“Iya ampun-ampun, Pit,” Dindin terkekeh.
 “Benar kata Pipit,” kata Nadia sambil ikut tertawa kecil.
 “Ya sudah, kita menjualnya hari sabtu untuk saat ini kita cari bahan-bahannya dulu. Kita kumpulkan uang untuk membeli bahannya,” tutur Bebeh. Sambil mengeluarkan pulpen dan catatan untuk mencatat apa saja yang diperlukan.
Sabtu pagi, Pipit tiba di sekolah sambil membawa kue-kue yang disimpan di rumahnya setelah kami membuatnya bersama pada hari jum’at sebelumnya.
“Kalian jualan kue?” tanya Ayu teman satu kelas kami.
“Sepertinya enak,” tambah Wulan.
“Boleh dibeli sekarang tidak?” tanya Tiya tak sabar.
“Tapi waktunya sudah hampir masuk pelajaran pertama. Nanti saja pada waktu istirahat, bagaimana?” pintaku.
“Yah, kalau begitu aku pesan bolu mininya sama pudingnya masing-masing satu ya. Awas kalo tidak,” ancam Tiya sambil terkekeh.
“Iya, santai saja pasti disimpankan kuenya,” sahut Bebeh.
Tepat pada saat itu bel masuk pelajaran pertama pun berbunyi. Sementara itu, kue jualan kami letakkan di meja paling belakang yang memang kosong. Tak terasa bunyi bel tanda istirahat pertama pun berbunyi. Teman-teman di kelas bergegas menghampiri kami untuk membeli kue jualan kami yang pertama.
Minggu depan pada saat bel pertama berbunyi. Karena minggu sebelumnya kue kami terjual habis di kelas sebelum sempat menjualnya keliling sekolah kami pun langsung membagi kelompok. Bebeh, Pipit dan Nur menjual kue sambil keliling lingkungan sekolah. Sedangkan sisanya, tetap di kelas untuk menjualnya pada teman-teman di kelas.
Sepulang sekolah, seperti biasa kami berkumpul di dalam kelas sambil bercerita. Sementara itu, kelas sudah sepi karena teman-teman yang lain sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami bercerita tentang kejadian pada saat Bebeh, Pipit dan Nur berjualan keliling sekolah.
“Sulit, Fa,” lapor Nur.
“Ada yang tidak menghiraukan tapi tidak sedikit juga yang ingin mencobanya,” kata Bebeh antara senang dan lelah.
“Sampai guru mengira aku jualan kue untuk modal kawin pula!” gumam Pipit.
Kami pun tertawa mendengarnya. Hal biasa jika ada kesulitan dalam berusaha. Anak-anak seperti kami merasakan sulitnya mencari uang. Setiap hari sabtu kami menjual kue dengan semangat. Anak-anak sekolah dan guru-guru sangat menyukainya, apalagi harga kue yang kami jual tidak terlalu mahal dan rasanya pun tidak mengecewakan.

Pekerjaan kami semakin maju. Karena harga yang semakin melangit, krisis uang saku terjadi. Kami jadi merasakan bagaimana sulitnya mencari uang sendiri. Tentu saja, hasil tidak pernah mendustai usaha pekerjaan kami menghasilkan uang yang lumayan meskipun kami hanya bisa melakukannya dalam waktu yang singkat karena harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian Nasional.

No comments:

Post a Comment

Artikel Populer

Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Dalam sejarah negara republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Masala...